Akademisi UHO Beri Solusi Jangka Panjang Kelangkaan Minyak Goreng

oleh
Ilustrasi minyak goreng/net

JAKARTA – Menyusul kelangkaan stok minyak yang membuat lonjakan harga pada komoditas tersebut di sejumlah wilayah di Indonesia termasuk Sulawesi Tenggara (Sultra) memantik Akademisi dari Universitas Halu Oleo (UHO), Abdul Rachman Rika buka suara.

Sebagaimana diketahui, pada awal Maret ini, harga minyak goreng di pasaran bisa menyentuh Rp24.000 hingga Rp50.000 per liter, tergantung kemasannya.

“Kelangkaan ini boleh jadi karena faktor produsen tidak memproduksi, bahan bakunya atau crude palm oil (CPO) dijual ke luar negeri, termasuk ada oknum kapitalis yang menimbun stok minyak goreng,” terang Abdul Rachman, Sabtu (12/3/2022).

Situasi ini membuat pemerintah akhirnya melakukan intervensi, dengan memperbarui harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. Dalam Permendag No 6/2022, HET minyak goreng diatur dengan rincian migor curah sebesar Rp11.500/liter, kemasan sederhana sebesar Rp13.500/liter, dan kemasan premium sebesar Rp14.000/liter.

“Kendati operasi pasar sebagai solusi jangka pendek sudah dilakukan tapi ini tidak memberi efek apapun. Faktanya harga di beberapa lokasi penjualan masih di atas itu,” ujarnya.

Bila dirunut, kelangkaan minyak goreng berawal dari kenaikan harga CPO di pasar Internasional. Hal ini disebabkan oleh menurunnya jumlah produksi baik di Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil minyak sawit terbesar akibat faktor alam pada semester kedua lalu.

“Hukum ekonomi, apabila stok sedikit dan penawaran berkurang maka otomatis harga akan naik. Meski kedua negara ini merupakan produsen minyak, tapi tidak terkoneksi langsung produsen CPO,” jelas Dosen Akuntasi ini.

Dirinya pun mendorong pemerintah daerah untuk aktif mencari solusi jangka panjang dalam merespons fenomena kelangkaan minyak goreng saat ini dengan membangun pabrik pengolahan kelapa sawit dan kelapa menjadi produk minyak goreng.

“Kita ingin daerah mampu menjadi katalisator ekonomi nasional khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan daerah. Karena daerah merupakan basis pembagunan pertanian” jelasnya.

BPS Sultra mencatat, produksi palm acid oil atau minyak sawit pada 2021 mencapai 5.173 ton, konsumsi minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga mencapai 11,58 liter, dan ekspor yang dilakukan sebanyak 309 ton.

“Luas kebun sawit di Sultra 8.406 ha yang dimiliki oleh perusahaan. Baiknya Pemprov maksimalkan investasi perkebunan ini dengan kebijakan tanam, petik, olah dan jual utamakan di sini dulu, makanya kita berharap investor perkebunan yang ada tidak hanya mengeluarkan kelapa sawit dalam bentuk CPO saja, tetapi harus bangun industri hilir di sini,” saran Rachman.

Bila bisa diwujudkan, hal ini dikatakannya akan membawa dampak langsung yang siginifikan, baik bagi masyarakat maupun pemerintah daerah sendiri.

“Harus ada industri sehingga ada serapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan petani dan juga ada pemasukan PAD bagi daerah dan juga negara. Dengan demikian kontribusi investor menjadi nyata,” ucapnya.

Pemprov juga didorong mengatasi keterbatasan sarana dan prasarana pendukung yang diperlukan oleh investor dalam membangun Industri.

“Dukungan sarana dan prasarana harus juga kita dorong sehingga ada timbal balik antara Daerah dan Perusahaan. Insyaa Allah kalo sudah ada industri maka kita selangkah maju ke depan membangun kemandirian pangan daerah khususnya pada komoditi ini beserta produk turunannya,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *