JAKARTA – Pandemi Covid-19 membuat banyak negara kewalahan di masa awal utamanya di Indonesia. Tentu ini membuat para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terpukul. Apalagi banyak orang belum tahu cara menghadapinya.
Perlu diketahui, sektor penyumbang 60% ekonomi di Indonesia mengalami kebangkrutan, akibatnya 97% tenaga kerja di sektor ini ikut dirumahkan.
Sri Mulyani Indrawati mengakui, bahwa tantangan dan ancaman yang kini dihadapkan masyarakat bukan lagi soal pandemi Covid-19, melainkan juga kenaikan harga barang.
“Dulu tantangan dan ancaman bagi masyarakat adalah pandemi, sekarang tantangan dan ancaman bagi masyarakat adalah kenaikan barang-barang tersebut,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers usai Sidang Kabinet Paripurna.
Sri Mulyani menyebut, kenaikan harga barang memang tak lepas dari kenaikan harga komoditas global, dipicu eskalasi Rusia-Ukraina. Belum lagi ditambah dengan ancaman inflasi global yang kian meninggi.
“Ini telah memberikan dampak di satu sisi APBN penerimaan negara akan naik. Namun di sisi lain, masyarakat juga akan merasakan rambatan dari inflasi global,” kata Sri Mulyani.
Ia juga mengungkapkan, pemerintah akan memprioritaskan skema pemberian bantuan sosial (bansos) tunai atau BLT maupun Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebagai bantalan ekonomi untuk menjaga daya beli.
Fleksibilitas APBN masih menjadi kunci Sri Mulyani menjaga perekonomian dalam negeri. Kali ini, Sri Mulyani berencana untuk menggunakan berbagai tambahan penerimaan dari kenaikan harga komoditas untuk menambal bantuan kepada masyarakat.
Sementara pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, pada 2023 defisit APBN harus kembali maksimum 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Dari sisi APBN kita akan merumuskan langkah tambahan penerimaan ini bisa dialokasikan dengan tepat. Kita masih ada Rp 455 triliun melakukan program ekonomi ini difokuskan ke program seperti labor intensive, atau program yang meningkatkan ketahanan,” jelasnya.