KOLAKA – Komoditas kakao menjadi salah satu produk pertanian yang tahun ini digenjot produksinya selain tanaman potensial lainnya untuk ekspor seperti sawit, kopi dan karet. Sehingga diperlukan pengembangan hingga hilirisasi komoditas kakao guna mendongrak nilai ekspor kakao sebagai komoditas unggulan perkebunan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) dalam acara panen dan tanam kakao sekaligus Supervisi Anggota BPK RI Program Kerja Kementan Tahun 2022 di Desa Konaweha, Kecamatan Samaturu, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (23/2/2023).
“Rata-rata tanaman kakao kita umurnya sudah di atas 15 sampai 20 tahun bahkan ada yang 30 tahun. Ini menjadi salah satu permasalahan sehingga harus ada rancangan untuk kemudian melakukan replanting dari apa yang ada dan hari ini adalah bagian-bagian dari upaya peningkatan produksi kakao kita,” kata Mentan Syahrul dalam keterangannya dilansir dari laman Kementan RI.
Ia menyebutkan produktivitas rata-rata nasional kakao masih di bawah potensi, karena pemeliharaan yang kurang intensif, inkonsisten dalam penerapan Good Agricultural Practices (GAP), serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) utama kakao, dampak perubahan iklim serta sarana produksi yang kurang memadai.
Oleh karena itu, pengembangan komoditas kakao secara berkelanjutan sangat penting yang disertai dengan memperkuat pembangunan hilirisasinya yang lebih baik lagi.
“Kita fokuskan saja pada hilirisasi komoditas perkebunan kita. Hilirisasi kita akan mulai setiap kabupaten sebesar 17 sampai 20 persen untuk setiap komoditas perkebunan seperti kelapa, kopi dan untuk Kolaka ini, komoditas kakao,” terangnya.
Tidak hanya itu, sambung Mentan SYL, komoditas kakao juga merupakan komoditas sosial dimana perkebunan kakao 99 persen diusahakan oleh perkebunan rakyat yang melibatkan sekitar 1,6 juta kepala keluarga (KK).
Untuk itu, upaya-upaya pemerintah dalam perbaikan mutu biji kakao perlu dilakukan secara intensif, di antaranya pembinaan kepada petani terkait Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) sehingga dihasilkan biji kakao yang berkualitas baik sesuai standar maupun 4 persyaratan negara tujuan ekspor.
“Kita akan terus meningkatkan pengawasan mutu kakao dari hulu hingga hilir dengan memfasilitasi sarana prasarana pascapanen dan pengolahan beserta pengujian mutu kakao di sentra kakao secara berkala melibatkan tenaga daerah,” paparnya.
Disamping itu, Mentan SYL mengatakan sesuai arahan Presiden Jokowi, pengembangan komoditi perkebunan seperti kakao yang merupakan tanaman tahunan yang membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun untuk berbuah, wajib tumpang sari dengan tanaman lain yang umurnya lebih pendek. Ini guna meningkatkan pendapatan petani yang lebih bervariasi, tidak hanya mengandalkan kakao.
“Tentu saja kita berharap harga coklat di dunia tidak pernah turun dalam kondisi krisis apapun. Untuk itu, pengembangan coklat yang akan terus kita lakukan menjadi ruang- ruang untuk kita terus akselerasi,” tandasnya.
Bersamaan, Dirjen Perkebunan Andi Nur Alam Syah mengatakan luas areal kakao nasional tahun 2021 seluas 1.460.396 hektar dengan produksi sebesar 688.210 ton biji kering dengan produktivitas 0,72 ton per hektar.
Untuk luas areal kakao di Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 236.793 hektar dengan produksi 107.152 ton dengan produktivitas sebesar 0,64 ton per hektar dan Kabupaten Kolaka seluas 28.663 hektar, produksinya 8.022 ton dengan produktivitas sebesar 0,45 ton per hektar.
“Pada tahun 2023 ini, kita mengalokasikan kegiatan pengembangan kakao seluas 8.050 hektar melalui kegiatan intensifikasi, peremajaan dan perluasan yang didukung operasional substation dan juga kita akan lakukan pilot project fertigasi kakao. Selain itu juga telah diluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus perkebunan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh petani di Indonesia,” ucapnya.
Andi mengungkapkan ekspor kakao Indonesia meningkat sebesar 0,85 persen dari tahun 2021 yaitu dari 382.718 ton dengan nilai Rp 17,22 triliun pada tahun 2022 menjadi 385.981 ton dengan nilai Rp 19,80 triliun. Kondisi saat ini, Indonesia telah bertransformasi dari negara penghasil biji kakao menjadi pengolah kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Belanda.
“Sehingga perlu untuk mewujudkan kemandirian petani dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas dengan prinsip berkelanjutan produksi serta peningkatan kualitas produksi,” tegas Andi.
Dalam kesempatan ini ,Anggota IV BPK RI, Haerul Saleh, yang turut hadir dalam kunjungan ini mengapresiasi Menteri Pertanian yang mampu mengelola anggaran dengan baik dengan hasil pertanian yang maksimal. Menurutnya, kedatangannya adalah untuk melaksanakan supervisi penyelenggaraan program pemerintah.
“Alhamdulilah dari beberapa supervisi yang kita jalankan, untuk Kementerian Pertanian atas hal-hal yang sudah dilaporkan, faktanya di lapangan adapun demikian. Dengan anggaran yang sedikit, Kementan di bawah arahan Mentan Syahrul mampu mencapai target produktivitasnya jauh lebih diatas, ini adalah suatu hal yang membanggakan,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Haerul berharap kepada Kementan dan BPK RI untuk terus bersinergi dan saling memberikan support sesuai tugas dan kewajiban masing- masing instansi. Kementan mensupport dalam hal data dan informasi, sementara BPK akan memberikan support dalam sisi laporan keuangan yang sama-sama akan dipertanggung jawabkan.
“Karena laporan keuangan Kementerian Pertanian ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari laporan keuangan pemerintah pusat,” tutup Haerul.