KENDARI – Pengusaha tambang nikel yang berada di Sulawesi Tenggara (Sultra) agar menjalankan bisnisnya sesuai dengan aturan dan regulasi yang ada.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Rusdi Masse Mappasessu usai menggelar pertemuan dengan Gubernur Sultra, Ali Mazi dan jajarannya dalam rangka Kunjungan Kerja Reses Komisi IV DPR RI Masa Persidangan III di Sultra, Senin (20/2/2023).
Dikatakan Rusdi, dengan hasil tambang tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan negara dan masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Karena dari data dari KLHK banyak pembukaan lahan yang diluar IUP (Izin Usaha Pertambangan)-nya mereka yang berada di kawasan, maka kita dari komisi 4 mau mendorong supaya ini ada pemasukan buat negara PNBPnya,” bilang Rusdi dilansir dari laman resmi DPR RI.
“Sehingga perusahaan-perusahaan yang tadinya menambang tidak sesuai dengan aturan kita dorong untuk bagaimana dia memajukan permohonan SK PP 24 tentang pengampunan terhadap tambang itu, dan itu terjadi PNBP untuk pemasukan negara,” sambungnya.
Diungkapkannya, bersarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ada 22 perusahaan pertambangan di Sultra yang dianggap bermasalah.
Namun yang memenuhi undangan atas pertemuan dengan Komisi IV DPR RI dan KLHK hanya 14 perusahaan. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, pihaknya akan memanggil para perusahaan tersebut untuk kembali berdialog di DPR RI pada masa sidang selanjutnya.
“Harapannya itu tadi target itu tadi, supaya PNBP dan DBHnya untuk daerah setempat khsususnya di Sultra ini, bahkan di kabupatennya sehingga semua ada dampak positifnya untuk masyarakat. Iya kan tujuannya inikan untuk salah satunya adalah untuk dampak ini lingkungan ini kerusakan lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung,” bilang Rusdi.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI, Alien Mus menjelaskan pertemuan dengan Gubernur Sultra dan jajaran mitra kerja komisi IV DPR RI di Kendari, karena adanya laporan dari KLHK atas penggunaan kawasan hutan di areal pertambangan Sultra tanpa izin pelepasan kawasan hutan atau Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Hampir semua pertambangan yang masuk nanti di cek nama-namanya hampir 25 itu memang beroperasi di areal kawasan hutan tanpa memiliki izin pelepasan kawasan hutan, pinjam pakai kawasan hutan, mereka punya IUP tapi mereka tidak punya IPPKH, Ini yang menjadi permasalahan,” ungkapnya.
Untuk itu, Alien berharap kepada Kementerian ESDM jika akan mengeluarkan izin pertambangan dapat juga sekaligus merilis IPPKH yang diajukan oleh perusahaan tersebut.
Jika tidak, menurutnya kerusakan lingkungan akan terus terjadi, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor lingkungan hidup dan kehutanan tidak dapat tercapai.
“Alhasil kita punya hutan rusak, dan juga punya kekayaan kita juga, yaudahlah semuanya itu tidak bisa kita paparkan satu persatu, kerusakan lingkungan, terus juga pencemaran lingkungan, dan dampak yang paling besar kepada masyarakat yang lingkar tambang tetap miskin dan tidak punya pekerjaan yang dilibatkan juga untuk di pertambangan tersebut,” tutur Alien.
Alien meminta pemerintah mengeluarkan langkah konkret guna menyelesaikan permasalahan pertambangan yang menggunakan kawasan hutan dan lingkungan hidup di negara kita. Hal ini bukan tidak berdasar, mengingat sektor pertambangan bisa juga dijadikan salah satu bentuk investasi yang tentu dapat menaikkan perekonomian Indonesia.
“Tapi kita juga harus melihat juga dampak ke depan untuk negara kita dan alam kita, daerah kita itu seperti apa kalau seandainya perusahaan-perusahaan ini beroperasi dan juga melakukan semuanya sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku, berarti kita sudah salah satu negara yang tidak lagi masuk negara yang tidak lagi masuk ketegori miskin donk, PNBP-nya dan Dana Bagi Hasilnya juga baik kepada daerah provinsi-provinsi karena yang punya tambang bukan di pusat kan? Yang punya tambang di daerah,” tandasnya.
Terakhir, Alien meminta adanya penguatan regulasi dari daerah hingga pusat, dan begitupun sebaliknya, sehingga tidak terjadi lagi saling lempar tanggung jawab, juga saling lempar kesalahan terkait masalah perizinan, pengawasan, sehingga langkah-langkah yang diambil menjadi konkret. **