KENDARI – Guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, pemerintah telah mengambil banyak langkah. Salah satunya adalah industri hilir.
Mengingat sumber daya alam Indonesia yang melimpah, hilirisasi menjadi penting. Dengan berkembangnya hilirisasi, sumber daya alam yang diekspor ke luar negeri diharapkan memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
Untuk mencapai hilirisasi di Indonesia, pemerintah mendorong lebih banyak investasi dalam negeri untuk memperkuat hilirisasi.
Hilirisasi merupakan strategi untuk meningkatkan nilai tambah barang kita. Dengan hilirisasi, komoditas ekspor ke depan tidak lagi dalam bentuk bahan mentah, tetapi dalam bentuk produk setengah jadi atau jadi.
Tujuan hilirisasi ini adalah untuk meningkatkan nilai jual barang, memperkuat struktur industri, memberikan lebih banyak kesempatan kerja dan meningkatkan peluang usaha di dalam negeri.
Hilirisasi investasi merupakan salah satu jawaban dalam menangkap peluang investasi yang ada, bahkan Presiden Jokowi menyampaikan, bahwa hilirisasi adalah Gerbang Emas untuk mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045.
Hilirisasi investasi akan memberikan multiplier effect yang luas, baik itu penerimaan negara melalui ekspornya maupun penyerapan tenaga kerja yang bertambah.
Hilirisasi produksi menjadi keharusan untuk meminimalisir dampak penurunan harga komoditas. Jika Indonesia terus mengandalkan ekspor bahan baku, Indonesia bisa dengan mudah jatuh ketika nilai jual komoditas tersebut turun.
Kedeputian Bidang Hilirisasi Investasi Strategis Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI melalui Direktorat Hilirisasi Mineral dan Batubara terus mendorong peningkatan nilai investasi di daerah.
Salah satunya melalui Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Penyusunan Peta Jalan (Roadmap) Hilirisasi Investasi Strategis (HIS) Sektor Mineral dan Perikanan Tahun Anggaran 2022 di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dilaksanakan bekerja sama dengan KSO Sucofindo – Indef – Amythas.
Rapat Koordinasi tersebut dilaksanakan di Kota Kendari, pada pertengahan September 2022 dengan menghadirkan sejumlah stakeholder terkait seperti, OPD lingkup Pemprov Sultra, serta pihak akademisi, pelaku usaha atau asosiasi sektor mineral dan sektor perikanan.
Dalam paparan gambaran umum kegiatan penyusunan Roadmap HIS 2022, Direktur Hilirisasi Mineral dan Batu Bara, Hasyim menyebut kegiatan tersebut merupakan rangkaian yang telah dimulai sejak akhir Agustus yang akan dilaksanakan di 23 provinsi di Indonesia.
“Kita berangkat dalam tujuan dilaksanakan Rakorda ini adalah dari pidato Presiden Joko Widodo, beliau menyampaikan ada lima agenda besar Indonesia Maju yang salah satunya adalah hilirisasi industri SDA yang membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan ekspor, menghasilkan devisa, meningkatkan pendapatan negara serta mendongkrak pertumbuhan ekonomi,” ujar Hasyim.
Lanjutnya, dalam pidato Presiden tersebut terdapat sejumlah hal yang dianggap strategis yakni transformasi ekonomi, hilirisasi industri, digitalisasi UMKM dan ekonomi hijau.
“Sesuai arahan Menteri Investasi/BKPM sebagai tindak lanjut kebijakan Presiden, maka Kementerian Investasi/BKPM melalui Kedeputian Bidang Hilirisasi Investasi Strategis yang salah satu fungsi pokoknya adalah pengembangan potensi dan peluang di bidang hilirisasi investasi strategis,” lanjut Hasyim.
Hasyim mengatakan, investasi di sektor hilirisasi ini dinilai berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena dari sektor energi dan bahan baku industri hingga tahun 2030 tren kebutuhan bahan bakar minyak diperkirakan akan terus meningkat, sedangkan kapasitas kilang belum bisa memenuhi kebutuhan.
“Tujuan dari penyusunan Peta Jalan Hilirisasi Investasi Strategis untuk memberikan landasan arah kebijakan dan sinergi dalam mendorong investasi hilirisasi. Penyusunan peta jalan meliputi pemetaan peluang dan tantangan komoditas strategis melalui analisis kinerja perdagangan, keterisian pohon industri, identifikasi nilai tambah produk olahannya serta tahapan hilirisasi investasi komoditas,” kata Hasyim kepada awak media.
Keluaran dari penyusunan Peta Jalan Hilirisasi Investasi Strategis ini, lanjutnya, diharapkan mampu menjadi referensi bagi Pemerintah dan dunia usaha dalam rangka hilirisasi investasi.
“Mineral logam yang terkandung di Indonesia diidentifikasi memiliki nilai tambah yang tinggi jika diolah melalui skema hilirisasi. Sebagai contoh, mineral logam nikel dengan Indonesia mempunyai 30 persen cadangan nikel dunia, mampu ditingkatkan nilai tambahnya hingga 350 kali lipat melalui pengolahan bijih nikel menjadi nikel murni sebagai bahan baku baterai,” imbuhnya.
Ia mencontohkan, produk turunan nikel lainnya juga turut menyumbangkan peningkatan nilai tambah yang signifikan: nickel pig iron (28kali lipat), ferronickel (74 kali lipat), dan nickel matte (245 kali lipat).
“Peningkatan permintaan masyarakat dunia akan stainless steel dan kendaraan listrik turut menyumbang terhadap peningkatan permintaan nikel dunia. Antara tahun 2020 dan 2040, diperkirakan akan terjadi supply gap nikel dunia hingga 1,83 juta ton nikel, yang mana merupakan peluang besar bagi pengembangan industri nikel Indonesia untuk mengisi kekosongan pasar domestik dan global tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, di sektor perikanan, hilirisasi industri sektor perikanan merupakan amanah dari Rencana Induk Pembangunan Industri nasional (RIPIN) 2015-2035 yang menitikberatkan pada pengembangan industri pangan.
Sebagaimana amanah RIPIN Perikanan sebagai sumber pangan, difokuskan pada pengawetan ikan (beku, kering dan asap) dan fillet serta aneka olahan ikan dan hasil laut lainnya (minyak ikan, suplemen kesehatan dan pangan fungsional lainnya).
“Dalam rangka implementasi kebijakan tersebut diperlukan roadmap pengembangan ke depan hingga 2045. Di dalam roadmap tersebut pemerintah berencana mengembangkan hilirisasi perikanan yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah produk dan berorientasi pada pasar,” ujarnya.
Sektor perikanan akan berfokus pada pengolahan hasil perikanan dari komoditas udang, ikan (tuna, tongkol, rajungan), dan rajungan/kepiting. Pemilihan komoditas didasarkan atas pertimbangan bahwa nilai ekspor komoditas udang pada tahun 2019 menempati urutan tertinggi dari seluruh komoditas perikanan, dengan nilai USD 1.7 juta dengan share sebesar 35 persen dari total ekspor perikanan (2019).
Diikuti oleh ikan (TTC) senilai USD 747,538 dan share terhadap total sebesar 15 persen. Sedangkan untuk Rajungan-kepiting, nilai ekspor menempati posisi ke-4 dengan nilai USD 393,498 dan market share sebesar 8 persen dari total ekspor perikanan.
“Pemilihan ketiga komoditas tersebut, tidak hanya karena mempunyai nilai ekspor yang tinggi, namun mempunyai added value yang cukup besar, baik dari produk utamanya maupun by product-nya. Seperti udang, rajungan, kepiting, by product-nya berupa cangkang yang potensial dimanfaatkan untuk chitin chitosan. Sedangkan untuk ikan (TTC), dari sisa-sisa olahan yang berupa kulit, tulang dan jeroan, dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tepung ikan, minyak ikan, kolagen maupun gelatin,” beber Hasyim.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka investasi perikanan di Sultra ke depan diharapkan berorientasi pada konsep bisnis hilirisasi perikanan yang terintegrasi. Dengan mengoptimalkan hilirisasi produk utama serta produk turunan.
Pendekatan ini sejalan dengan konsep blue economy yang salah satunya bercirikan zero waste, adopsi inovasi, multiplier economy dan social inclusive. Dengan memanfaatkan limbah produk yang bernilai tambah, maka akan melahirkan industri yang nir limbah, menyerap tenaga kerja dengan adanya industri baru, peningkatan kesejahteraan dan pentingnya pemanfaatan teknologi dan inovasi dalam menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.
“Pendekatan berikutnya adalah integrasi antara perusahaan berskala menengah besar dengan UMKM dalam kemitraan sinergis yang saling menguntungkan. Pola kemitraan dalam industri pengolahan skala menengah-besar dan UMKM ini dapat terjadi pada produk utama dengan pengolahan limbahnya atau by product-nya,” tukassnya.
Komponen-komponen tersebut memiliki peran yang vital untuk mendukung sasaran strategis penanaman modal. Dalam hal ini, kebijakan hilirisasi investasi sektor SDA seperti produk pertambangan mineral dan perikanan.
Karena dinilai tepat untuk menggenjot nilai tambah dan kontribusi ke penerimaan negara selain pajak pertambangan. Selain itu, berpotensi menciptakan multiplier effect yang tinggi.
“Saat ini, di Sultra ini sedang ada pembangunan pabrik Baterai Lithium di Kecamatan Routa, Kabupaten Konawe akan dimulai pada tahun ini. Untuk di Indonesia sendiri satunya ada di Maluku Utara itu Harita Nickel, melalui PT Halmahera Persada Lygend (HPL), menjadi perusahaan pionir di Indonesia yang memproduksi bahan baku utama baterai kendaraan listrik berupa mixed hydroxide precipitate (MHP). HPL yang mulai beroperasi pada pertengahan 2021 di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, kini memiliki kapasitas produksi 365.000 WMT/per tahun,” jelasnya.
Setelah kegiatan Rakorda ini, pihaknya pun akan melanjutkan dengan pelaksanaan kunjungan lapangan untuk penajaman data dan informasi.
“Berkenaan dengan hal tersebut pihaknya, mengharapkan dukungan dan sinergitas stakeholder baik dari kelompok usaha, asosiasi maupun pemerintahan daerah setempat. Kami harapkan hari ini kami dapat mendengarkan dan mengetahui kesiapan daerah, begitu pula teknologi yang digunakan perusahaan seperti apa, kemudian ada kendala tidak terkait asosiasi,” tutup Hasyim. (Adv)