JAKARTA – Usulan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dinilai tak layak dilanjutkan. Itu lantaran tidak adanya partisipasi pelaku industri hasil tembakau (IHT) sebagai objek terdampak implementasi regulasi.
Sejumlah pihak menduga ada kesengajaan untuk tidak melibatkan ekosistem IHT dalam proses revisi ini. Pakar Kebijakan Publik Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) Riant Nugroho menjelaskan, pelibatan objek kebijakan dalam penyusunan kebijakan publik merupakan hal sangat krusial.
Oleh karenanya, pelibatan para pelaku IHT perlu dilakukan sejak awal proses revisi PP 109/2012. “Sebagai objek kebijakan, pelaku IHT harus dilibatkan dari proses awal, penyusunan naskah akademik, hingga keseluruhan proses. Apabila tidak ada keterlibatan dari objek kebijakan secara proses administrasi publik, kebijakan yang dibuat tidak memenuhi kelayakan,” paparnya dalam keterangan, Rabu (3/8) dikutip dari Jawa Pos.
Dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, akuntabilitas memastikan adanya komunikasi secara detail, rinci, dan komprehensif dengan setiap pihak yang menjadi bagian atau objek dari kebijakan tersebut. Sayangnya, Riant melihat, aspek ini kerap terlupakan oleh pembuat kebijakan publik, khususnya pemerintah.
Pembuat kebijakan hanya fokus terhadap aspek responsibilitas, yaitu agar kebijakan-kebijakan yang telah dijadwalkan bisa rampung pada waktu dan sesuai anggaran yang ditentukan. Karena ini pula, sejumlah proses pembuatan kebijakan publik hanya menjadi afirmasi terhadap ide maupun gagasan yang disusun pemerintah.
Hal ini misalnya tecermin dari proses konsultasi maupun uji publik yang tak sesuai dengan amanat undang-undang, dan tidak mampu memotret kenyataan di lapangan. Uji publik yang tidak inklusif dikhawatirkan hanya akan menghasilkan kebijakan yang tidak menjadi solusi yang mengena pada kebutuhan masyarakat luas.
Hal ini juga jelas bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan tentunya nilai-nilai Pancasila yang sangat mengedepankan musyawarah mufakat sebagai bentuk keadilan. “Dalam sejumlah konsultasi publik, sebenarnya bukan konsultasi publik, tapi bagaimana pejabat mengundang banyak stakeholder yang hanya setuju dengan gagasan pemerintah saja. Hasilnya terjadi ketidakseimbangan dalam proses konsultasi publik tersebut,” sambung Riant.
Nirpartisipasi dari objek kebijakan dan proses penyusunan kebijakan yang tidak dinamis, sambung Riant, hanya akan menghasilkan kebijakan yang tidak efektif. Ini juga berpotensi sebagai pemborosan keuangan negara bahkan menjurus kepada korupsi kebijakan.
Pasalnya, hal ini dapat menimbulkan konflik baru yang tidak perlu, serta ada tugas-tugas baru untuk menyelesaikan konflik tersebut seperti proses uji materiil dengan biaya besar yang ditanggung negara. Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wijaya bahkan menduga ada kesengajaan untuk tidak melibatkan pelaku IHT dalam proses revisi PP 109/2012.
Ini misalnya terbukti dari diselenggarakannya uji publik oleh Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan pada pekan lalu yang mengundang pelaku IHT secara mendadak. “Kami bahkan baru menerima undangan satu hari sebelum uji publik. Proses usulan revisinya saja sudah cacat hukum, tidak transparan, belum lagi sampai ke substansinya yang menimbulkan banyak pertanyaan,” jelasnya.
Hananto juga menduga ada tekanan-tekanan oleh asing yang mendorong agar PP 109/2012 direvisi. Tekanan dilakukan dengan secara sengaja tidak melibatkan IHT agar dapat segera rampung.
Menurut Hananto, indikasi ini pada saat uji publik terlihat dimana kelompok-kelompok tertentu bisa menjelaskan detail pasal per pasal, sementara para pelaku IHT tidak diberikan akses terhadap materi revisi sama sekali. Dia berharap, pemerintah mengedepankan keterlibatan seluruh pihak yang terdampak dalam proses perumusan kebijakan sejak awal, dengan mengedepankan azas keadilan dan transparansi.