Top-up Dompet Digital Kena PPN Bukan dari Nominalnya, tapi Biaya Jasa

oleh
ILUSTRASI Salah satu dompet digital. (istimewa)

JAKARTA – Mulai 1 Mei 2022, jasa penyelenggara teknologi finansial wajib memungut pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen atas layanan yang diberikannya. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor memastikan PPN dikenakan hanya atas biaya jasa dari pihak yang memfasilitasi transaksi. Artinya, pengenaan pajak bukan secara langsung terhadap nominal transaksi di layanan teknologi finansial tersebut.

“Misalnya kita topup e-money Rp 10 juta, umumnya terdapat biaya jasa atau kita kenal sebagai fee sekitar Rp 500 atau Rp 1.500 tergantung dari pemberi jasa. Nah, atas fee Rp 500 inilah yang nantinya akan dikenai PPN 11 persen. Jadi, PPN yang dipungut hanya sebesar Rp 55,” ujar dia, dilansir dari Jawa Pos, Kamis (14/4).

Kemudian, tidak semua jasa yang disediakan penyelenggara teknologi finansial harus dipungut PPN. Platform yang terkena PPN ini adalah jasa penyediaan hingga jasa pembayaran.

“Penyelenggaraan penyelesaian transaksi (settlement) investasi, penyelenggaraan penghimpunan modal, layanan pinjam meminjam, pengelolaan investasi, penyediaan produk asuransi online, pendukung pasar, pendukung keuangan digital dan aktivitas jasa keuangan lainnya,” terangnya.

“Sementara jasa penempatan dana atau pemberian dana, jasa pembiayaan dan asuransi online dibebaskan dari pengenaan PPN,” sambung Neilmaldrin.

Selain mengatur tentang pemungutan PPN, kebijakan ini juga mengatur pemotongan PPh Pasal 23/26 oleh penyelenggara layanan teknologi finansial yang memberi layanan pinjam meminjam (P2P Lending) atas penghasilan bunga yang diterima kreditur melalui platform P2P Lending.

Atas bunga yang diterima kreditur, dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15 persen dari jumlah bruto bunga, dalam hal kreditur adalah wajib pajak dalam negeri atau PPh Pasal 26 sebesar 20 persen dari jumlah bruto bunga atau sesuai persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B), dalam hal kreditur adalah wajib pajak luar negeri.

Adapun, kata dia pengenaan pajak terhadap penyelenggaraan bisnis teknologi finansial merupakan langkah serius pemerintah dalam menerapkan perlakuan yang sama bagi industri jasa keuangan, baik yang dilakukan secara digital maupun konvensional, sehingga dapat menjaga kesetaraan dalam usaha.

“Perlu dipahami bahwa penerapan pajak pada digital economy sebelumnya sudah diterapkan lebih dulu pada kegiatan ekonomi konvensional sehingga pada intinya tidak terdapat objek pajak baru dan hanya terdapat perbedaan cara bertransaksi,” pungkas dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *